Do’a adalah ibadah dan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
, الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ “
Do’a adalah ibadah
.” (HR. Abu Daud no. 1479, At Tirmidzi no. 2969, Ibnu Majah no. 3828 dan Ahmad 4/267; dari An Nu’man bin Basyir).
Setiap manusia berdoa tujuan pasti ingin didengar dan dikabulkan Allah
SWT segala permohonannya. Dan, Allah telah memberi tahu bagaimana cara
atau adab berdoa yang paling disukai NYA.
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ
الْمُعْتَدِينَ (55) وَلا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا
وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ
الْمُحْسِنِينَ (56)
Berdoalah kepada Tuhan kalian dengan berendah diri dan suara yanglembut.
Sesungguhnya Allah tidakmenyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan
janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat
dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS Al-A'raf: 55-56)
Allah Swt. memberikan petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar mereka berdoa
memohon kepada-Nya untuk kebaikan urusan dunia dan akhirat mereka.
Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً}
Berdoalah kepada Tuhan kalian dengan berendah diri dan suara yang lembut. (Al-A'raf: 55)
Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah mengucapkan doa dengan
perasaan yang rendah diri, penuh harap, dan dengan suara yang lemah
lembut. Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam
firman-Nya:
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ
Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu (Al-A'raf: 205), hingga akhir ayat.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Abu Musa Al-Asy'ari yang
menceritakan bahwa suara orang-orang terdengar keras saat mengucapkan
doanya. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"أَيُّهَا النَّاسُ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ؛ فَإِنَّكُمْ لَا
تَدْعُونَ أصمَّ وَلَا غَائِبًا، إِنَّ الَّذِي تَدْعُونَهُ سَمِيعٌ
قَرِيبٌ
Hai manusia, tenangkanlah diri kalian, karena sesungguhnya kalian
bukanlah menyeru (Tuhan) yang tuli dan bukan pula (Tuhan) yang gaib,
sesungguhnya Tuhan yang kalian seru itu Maha Mendengar lagi Mahadekat.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata Al-Khurrasani, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna firman-Nya: dengan berendah diri dan suara yang
lembut. (Al-A'raf: 55) Yang dimaksud dengan khufyah ialah suara yang
pelan.
Ibnu Jarir mengatakan, makna tadarru' ialah berendah diri dan tenang
dalam ketaatan kepada-Nya. Yang dimaksud dengan khufyah ialah dengan
hati yang khusyuk, penuh keyakinan kepada Keesaan dan Kekuasaan-Nya
terhadap semua yang ada antara kalian dan Dia, bukan dengan suara yang
keras untuk pamer.
Abdullah ibnul Mubarak meriwayatkan dari Mubarak ibnul Fudalah, dari
Al-Hasan yang mengatakan bahwa sesungguhnya dahulu ada orang yang
benar-benar hafal Al-Qur'an seluruhnya, tetapi tidak ada seorang pun
yang mengetahuinya. Dahulu ada orang yang benar-benar banyak menguasai
ilmu fiqih, tetapi tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.
Sesungguhnya dahulu ada orang yang benar-benar gemar melakukan salat
yang panjang-panjang di dalam rumahnya, sedangkan di rumahnya banyak
terdapat para pengunjung yang bertamu, tetapi mereka tidak
mengetahuinya. Sesungguhnya kita sekarang menjumpai banyak orang yang
tiada Suatu amal pun di muka bumi ini mereka mampu mengerjakannya secara
tersembunyi, tetapi mereka mengerjakannya dengan terang-terangan.
Padahal sesungguhnya kaum muslim di masa lalu selalu berupaya dengan
keras dalam doanya tanpa terdengar suaranya selain hanya bisikan antara
mereka dan Tuhannya. Demikian itu karena Allah Swt. telah berfirman di
dalam Kitab-Nya: Berdoalah kepada Tuhan kalian dengan berendah diri dan
suara yang lembut. (Al-A'raf: 55); Dan firman Allah Swt. ketika
menceritakan seorang hamba yang saleh yang Dia ridai perbuatannya,
yaitu:
{إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا}
yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. (Maryam: 3)
Ibnu Juraij mengatakan bahwa makruh mengeraskan suara, berseru, dan
menjerit dalam berdoa; hal yang diperintahkan ialah melakukannya dengan
penuh rasa rendah diri dan hati yang khusyuk.
Kemudian Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata Al-Khurasahi, dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas. (Al-A'raf: 55) Yakni dalam berdoa,
juga dalam hal lainnya.
Abu Mijlaz mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al-A'raf: 55)
Maksudnya, janganlah seseorang meminta kepada Allah agar ditempatkan pada kedudukan para nabi.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، رَحِمَهُ اللَّهُ: حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِي، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عن زياد ابن
مِخْراق، سَمِعْتُ أَبَا نَعَامَةَ عَنْ مَوْلًى لِسَعْدٍ؛ أَنَّ سَعْدًا
سَمِعَ ابْنًا لَهُ يَدْعُو وَهُوَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ، إِنِّي أَسْأَلُكَ
الْجَنَّةَ وَنَعِيمَهَا وَإِسْتَبْرَقَهَا وَنَحْوًا مِنْ هَذَا،
وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ وَسَلَاسِلِهَا وَأَغْلَالِهَا. فَقَالَ:
لَقَدْ سَأَلْتَ اللَّهَ خَيْرًا كَثِيرًا، وَتَعَوَّذْتَ بِاللَّهِ مِنْ
شَرٍّ كَثِيرٍ، وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وسلم يَقُولُ: "إِنَّهُ سَيَكُونُ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الدُّعَاءِ".
وَقَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ: {ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً
[إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ] } وَإِنَّ بِحَسْبِكَ أَنْ تَقُولَ:
"اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ
قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا
مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu
Mahdi, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Ziad ibnu Mikhraq;
ia pernah mendengar Abu Nu'amah meriwayatkan dari seorang maula Sa'd
bahwa Sa'd pernah mendengar salah seorang anak lelakinya mengatakan
dalam doanya, "Ya Allah, sesungguhnya saya memohon kepadamu surga dan
semua kenikmatannya dan baju sutranya, serta hal lainnya yang semisal.
Saya berlindung kepada-Mu dari neraka, rantai, dan belenggunya." Maka
Sa'd mengatakan, "Engkau telah meminta kepada Allah kebaikan yang banyak
dan berlindung kepada Allah dari kejahatan yang banyak. Sesungguhnya
saya pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: 'Sesungguhnya kelak akan
ada suatu kaum yang melampaui batas dalam berdoa'." Menurut lafaz yang
lain disebutkan, "Melampaui batas dalam bersuci dan berdoa." Kemudian
Sa'd membacakan firman-Nya:Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah
diri.(Al-A'raf: 55) Sa'd mengatakan, "Sesungguhnya sudah cukup bagimu
jika kamu mengucapkan dalam doamu hal berikut, 'Ya Allah, sesungguhnya
saya memohon kepada Engkau surga dan semua ucapan atau perbuatan yang
mendekatkan diriku kepadanya. Saya berlindung kepada Engkau dari neraka
dan dari semua ucapan atau perbuatan yang mendekatkan diriku kepadanya."
Imam Abu Daud meriwayatkannya melalui hadis Syu'bah, dari Ziyad ibnu
Mikhraq, dari Abu Nu'amah, dari maula Sa'd, dari Sa'd, lalu ia
menuturkan hadis ini.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عفَّان، حَدَّثَنَا حَمَّاد بْنُ
سَلَمَةَ، أَخْبَرَنَا الْجُرَيْرِيُّ، عَنْ أَبِي نَعَامة: أَنَّ عَبْدَ
اللَّهِ بْنَ مُغَفَّلٍ سَمِعَ ابْنَهُ يَقُولُ: اللَّهُمَّ، إِنِّي
أَسْأَلُكَ الْقَصْرَ الْأَبْيَضَ عَنْ يَمِينِ الْجَنَّةِ إِذَا
دَخَلْتُهَا. فَقَالَ: يَا بُنَيَّ، سَلِ اللَّهَ الْجَنَّةَ، وَعُذْ بِهِ
مِنَ النَّارِ؛ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وسلم يقول: "يَكُونُ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الدُّعَاءِ والطَّهُور".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah
menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada
kami Al-Hariri, dari Abu Nu'amah, bahwa Abdullah ibnu Mugaffal pernah
mendengar anaknya mengucapkan doa berikut, "Ya Allah, sesungguhnya saya
memohon kepada Engkau gedung putih yang ada di sebelah kanan surga, jika
saya masuk surga." Maka Abdullah berkata kepadanya, "Hai anakku,
mintalah surga kepada Allah dan berlindunglah kepada-Nya dari neraka.
Karena sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
'Kelak akan ada suatu kaum yang melampaui batas dalam doa dan
bersucinya'."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Affan.
Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Musa ibnu Ismail, dari Hammad ibnu
Salamah, dari Sa'id ibnu Iyas Al-Hariri, dari Abu Nu'amah yang nama
aslinya ialah Qais ibnu Ubayah Al-Hanafi Al-Basri. Sanad ini dinilai
baik dan dapat dipakai.
Perintah berdoa dengan suara yang lembut juga termaktub dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut:
وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ
مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ
Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa
takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang,
dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. [al-A’râf/7:205]
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah seorang Tabi’i, ia berkata: “Dahulu,
kaum muslimin sangat tekun dalam berdoa. Tidak terdengar suara dari
mereka, kecuali hanya suara lirih antara mereka dengan Rabb mereka”.
Selanjutnya, beliau membacakan surat al-A’râf/7 ayat 55 dan pujian
terhadap Nabi Zakariyya dalam surat Maryam/19 ayat 3.
عَنْ أَبِي مُوسَى الأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كُنَّا
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكُنَّا إِذَا
أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ، هَلَّلْنَا وَكَبَّرْنَا ارْتَفَعَتْ
أَصْوَاتُنَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا
أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لاَ
تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا، إِنَّهُ مَعَكُمْ إِنَّهُ سَمِيعٌ
قَرِيبٌ، تَبَارَكَ اسْمُهُ وَتَعَالَى جَدُّهُ»
Dari Abu Musa Al Asy'ary Radhiallohu 'anhu, beliau berkata : Kami pernah
bepergian bersama Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam, lalu apabila
kami melewati suatu lembah, kamipun TAHLIL dan TAKBIR, dengan
mengangkat/membesarkan suara, maka Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam
bersabda : "Wahai sekalian manusia, rendahkanlah (kasihanilah) diri
kalian karena sesungguhnya kalian tidaklah menyeru Zat yang tuli dan
tidak pula jauh, sesungguhnya DIA bersama kalian dan DIA maha mendengar
lagi dekat, Maha Suci Nama-Nya dan Maha Tinggi Kebesaran-Nya. [HR.
Bukhari dan Muslim]
Berkata Ibnu Juraij :
مِنْ الِاعْتِدَاءِ رَفْعُ الصَّوْتِ وَالنِّدَاءُ بِالدُّعَاءِ وَالصِّيَاحُ
Termasuk "Melampaui Batas"adalah mengangkat suara, menyeru dan berteriak ketika berdo'a.
Telah datang ayat yang memberikan anjuran agar tidak mengeraskan suara
ketika berzikir dan berdo'a, Allah Subhanahu wata'ala berfirman :
{وَإِنْ تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى} [طه: 7]
Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. [QS. Tho-ha (20):7]
Maksudnya : Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu ketika berzikir kepada
Allah baik itu dalam bentuk do'a atau selainnya, maka ketahuilah
sesungguhnya Dia tidak butuh akan suara kerasmu karena Allah Subhanahu
Wata'ala mengetahui apa yang kamu rahasiakan kepada orang lain dan yang
lebih tersembunyi dari itu.
Contoh lain dari melampaui batas dalam berdo'a adalah berdo'a agar
dimudahkan berbuat dosa atau memutus tali silaturahim, atau berdo'a agar
diberi sesuatu yang mustahil diwujudkan baik secara syar'i ataupun
secara kodrat, misalnya seseorang berdo'a : Ya Allah, jadikanlah aku
seorang Nabi. Mustahil secara kodrat misalnya berdo'a kepada Allah agar
menyatukan dua hal yang kontradiksi. Do'a-do'a seperti itu adalah do'a
memohon sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan.
Abdullah bin Mughaffal pernah mendengar anaknya berdo'a dengan mengucapkan :
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْقَصْرَ الْأَبْيَضَ، عَنْ يَمِينِ الْجَنَّةِ إِذَا دَخَلْتُهَا
"Ya Allah sesungguhnya saya memohon kepada-Mu istana putih di sisi kanan surga jika saya memasukinya."
Maka Abdullah bin Mughaffal berkata :
أَيْ بُنَيَّ، سَلِ اللَّهَ الْجَنَّةَ، وَتَعَوَّذْ بِهِ مِنَ النَّارِ
"Wahai anakku mintalah surga kepada Allah dan berlindunglah kepada-Nya dari neraka"
Sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah Sholallahu 'alaihi wasallam bersabda :
«إِنَّهُ سَيَكُونُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الطَّهُورِ وَالدُّعَاءِ»
"Sesungguhnya akan ada suatu kaum dari ummat ini yang berlebih-lebihan dalam hal bersuci dan berdo'a" [HR. Abu Daud]
Merendahkan suara dan tidak mengeraskannya termasuk etika dalam berdoa.
Etika ini mencerminkan nilai-nilai positif. Di antaranya:
(1) Cara ini menunjukkan keimanan yang lebih besar, karena ia meyakini
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mendengar suara yang lirih,
(2) Cara ini lebih beradab dan sopan. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala
mendengar suara yang pelan, maka tidak sepantasnya berada di hadapan-Nya
kecuali dengan suara yang rendah.
(3) Sebagai pertanda sikap khusyu‘ dan ketundukan hati yang merupakan ruh doa,
(4) Lebih mendatangkan keikhlasan. Karena doa dengan suara keras membuat
orang lain merasa terganggu dan terpancing perhatiannya kepada
suara-suara yang keras lagi riuh-rendah.
(5) Cara ini membantu untuk konsisten dan senantiasa berdoa. Karena
bibir tidak merasa bosan dan anggota tubuh tidak mengalami kelelahan.
Sebagaimana orang yang membaca dan mengulang-ulangnya dengan suara
keras, maka akan lebih cepat merasa penat.
(6) Cara berdoa dengan suara lirih juga menunjukkan, bahwa seorang hamba meyakini kedekatannya dengan Allah Subahnahu wa Ta’ala.
Firman Allah Swt.:
{وَلا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا}
Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya. (Al-A'raf: 56)
Allah Swt. melarang perbuatan yang menimbulkan kerusakan di muka bumi
dan hal-hal yang membahayakan kelestariannya sesudah diperbaiki. Karena
sesungguhnya apabila segala sesuatunya berjalan sesuai dengan
kelestariannya, kemudian terjadilah pengrusakan padanya, hal tersebut
akan membahayakan semua hamba Allah.
Dalam ayat ini Allah melarang manusia agar tidak membuat kerusakan di permukaan bumi. Kerusakan ini mencakup:
1. Kerusakan jiwa, dengan cara membunuh dan memotonga anggota tubuh.
2. Kerusakan harta, dengan cara ghoshob dan mencuri.
3. Kerusakan agama dan kafir, dengan melakukan kemaksiatan-kemaksiatan.
4. Kerusakan nasab, dengan melakukan zina.
5. Kerusakan akal, dengan meminum-minuman yang memabukkan.
Kesimpulannya, bahwa kerusakan itu mencakup kerusakan terhadap akal,
akidah, tata kesopanan, pribadi, maupun sosial, sarana-sarana
penghidupan, dan hal-hal yang bermanfaat untuk umum, seperti lahan-lahan
pertanian, perindustrian, perdagangan dan sarana-sarana kerjasama untuk
sesama manusia.
Salah satu bentuk perbaikan yang dilakukan Allah adalah dengan mengutus
para Nabi untuk meluruskan dan memperbaiki kehidupan yang kacau dalam
masyarakat. Siapa yang tidak menyambut kedatangan Rasul, atau menghambat
misi mereka, dia telah melakukan salah satu bentuk perusakan di bumi.
Bumi sebagai tempat tinggal dan tempat hidup manusia dan makhluk Allah
lainnya sudah dijadikan Allah dengan penuh rahmat-Nya. Gunung-gunung,
lembah-lembah, sungai-sungai, lautan, daratan dan lain-lain semua itu
diciptakan Allah untuk diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya
oleh manusia, bukan sebaliknya dirusak dan dibinasakan.
Hanya saja ada sebagian kaum yang berbuat kerusakan di muka bumi. Mereka
tidak hanya merusak sesuatu yang berupa materi atau benda, melainkan
juga berupa sikap, perbuatan tercela atau maksiat serta perbuatan
jahiliyah lainnya. Akan tetapi, untuk menutupi keburukan tersebut sering
kali mereka menganggap diri mereka sebagai kaum yang melakukan
perbaikan di muka bumi, padahal justru merekalah yang berbuat kerusakan
di muka bumi.
Allah SWT melarang umat manusia berbuat kerusakan dimuka bumi karena Dia
telah menjadikan manusia sebagai khalifahnya. Larangan berbuat
kerusakan ini mencakup semua bidang, termasuk dalam hal muamalah,
seperti mengganggu penghidupan dan sumber-sumber penghidupan orang lain.
Maka Allah Swt. melarang hal tersebut, dan memerintahkan kepada mereka
untuk menyembah-Nya dan berdoa kepada-Nya serta berendah diri dan
memohon belas kasihan-Nya. Untuk itulah Allah Swt. berfirman;
{وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا}
dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut(tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). (Al-A'raf; 56)
Yakni dengan perasaan takut terhadap siksaan yang ada di sisi-Nya dan
penuh harap kepada pahala berlimpah yang ada di sisi-Nya. Kemudian dalam
firman selanjutnya disebutkan:
{إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ}
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Al-A'raf: 56)
Maksudnya, sesungguhnya rahmat Allah selalu mengincar orang-orang yang
berbuat kebaikan, yaitu mereka yang mengikuti perintah-perintah-Nya dan
menjauhi larangan-larangan-Nya. Seperti pengertian yang terdapat di
dalam firman-Nya:
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ
Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku
untuk orang-orang yang bertakwa. (Al-A'raf: 156), hingga akhir ayat.
Dalam ayat ini disebutkan qaribun dan tidak disebutkan qaribatun
mengingat di dalamnya (yakni lafaz rahmat) terkandung pengertian pahala;
atau karena disandarkan kepada Allah, karena itu disebutkan qaribun
minal muhsinin (amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik).
Matar Al-Warraq pernah mengatakan, "Laksanakanlah janji Allah dengan
taat kepada-Nya, karena sesungguhnya Dia telah menetapkan bahwa
rahmat-Nya amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik."
Dien Islam yang kaffah ini telah melarang segala bentuk pengerusakan
terhadap alam sekitar, baik pengerusakan secara langsung maupun tidak
langsung. Kaum Muslimin, harus menjadi yang terdepan dalam menjaga dan
melestarikan alam sekitar. Oleh karena itu, seyogyanya setiap Muslim
memahami landasan-landasan pelestarian lingkungan hidup. Karena
pelestarian lingkungan hidup merupakan tanggung jawab semua umat manusia
sebagai pemikul amanah untuk menghuni bumi Allâh Azza wa Jalla ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang perbuatan merusak lingkungan
hidup karena bisa membahayakan kehidupan manusia di muka bumi. Karena
bumi yang kita tempati ini adalah milik Allâh Azza wa Jalla dan kita
hanya diamanahkan untuk menempatinya sampai pada batas waktu yang telah
Allâh Azza wa Jalla tetapkan. Oleh karena itu, manusia tidak boleh
semena-mena mengeksplorasi alam tanpa memikirkan akibat yang muncul.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
تِلْكَ آيَاتُ اللَّهِ نَتْلُوهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّ ۗ وَمَا اللَّهُ يُرِيدُ ظُلْمًا لِلْعَالَمِينَ
Itulah ayat-ayat Allah Azza wa Jalla. Kami bacakan ayat-ayat itu
kepadamu dengan benar dan tiadalah Allâh berkehendak untuk menganiaya
hamba-hambaNya. [Ali Imrân/3:108]
Allah Azza wa Jalla menciptakan alam ini bukan tanpa tujuan. Alam ini
merupakan sarana bagi manusia untuk melaksanakan tugas pokok mereka yang
merupakan tujuan diciptakan jin dan manusia. Alam adalah tempat
beribadah hanya kepada Allâh semata. Allâh Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ
وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا
خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
(Yaitu) Orang-orang yang mengingat Allâh sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata), “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan
ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka. [Ali Imrân/3:191]
Syariat Islam sangat memperhatikan kelestarian alam, meskipun dalam
jihâd fi sabîlillah. Kaum Muslimin tidak diperbolehkan membakar dan
menebangi pohon tanpa alasan dan keperluan yang jelas.
Kerusakan alam dan lingkungan hidup yang kita saksikan sekarang ini
merupakan akibat dari perbuatan umat manusia. Allâh Azza wa Jalla
menyebutkan firmanNya :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي
النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusi, supaya Allâh merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
[ar-Rûm/30:41]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar