Segala puji bagi Allah, Rabb yang mengatur malam dan siang.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabatnya
serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Pada kesempatan kali ini kami akan menyajikan panduan singkat shalat witir. Semoga yang singkat ini bermanfaat.
Witir secara bahasa berarti ganjil. Hal ini sebagaimana dapat kita lihat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
“Sesungguhnya Allah itu Witr dan menyukai yang witr (ganjil).” (HR. Bukhari no. 6410dan Muslim no. 2677)
Sedangkan yang dimaksud witir pada shalat witir adalah shalat yang
dikerjakan antara shalat Isya’ dan terbitnya fajar (masuknya waktu
Shubuh), dan shalat ini adalah penutup shalat malam.
Mengenai shalat witir apakah bagian dari shalat lail (shalat
malam/tahajud) atau tidak, para ulama berselisih pendapat. Ada ulama
yang mengatakan bahwa shalat witir adalah bagian dari shalat lail dan
ada ulama yang mengatakan bukan bagian dari shalat lail.
Hukum Shalat Witir
Menurut mayoritas ulama, hukum shalat witir adalah sunnah muakkad (sunnah yang amat dianjurkan).
Namun ada pendapat yang cukup menarik dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah bahwa shalat witir itu wajib bagi orang yang punya kebiasaan melaksanakan shalat tahajud.[1] Dalil pegangan beliau barangkali adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً
“Jadikanlah akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)
Waktu Pelaksanaan Shalat Witir
Para ulama sepakat bahwa waktu shalat witir adalah antara shalat Isya
hingga terbit fajar. Adapun jika dikerjakan setelah masuk waktu shubuh
(terbit fajar), maka itu tidak diperbolehkan menurut pendapat yang lebih
kuat. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari
kalian khawatir akan masuk waktu shubuh, hendaklah ia shalat satu rakaat
sebagai witir (penutup) bagi shalat yang telah dilaksanakan sebelumnya.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749, dari Ibnu ‘Umar)
Ibnu ‘Umar mengatakan,
مَنْ صَلَّى بِاللَّيْلِ فَلْيَجْعَلْ آخِرَ
صَلاَتِهِ وِتْراً فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَمَرَ
بِذَلِكَ فَإِذَا كَانَ الْفَجْرُ فَقَدْ ذَهَبَتْ كُلُّ صَلاَةِ اللَّيْلِ
وَالْوِتْرُ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «
أَوْتِرُوا قَبْلَ الْفَجْرِ »
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat malam, maka jadikanlah
akhir shalat malamnya adalah witir karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam memerintahkan hal itu. Dan jika fajar tiba, seluruh shalat
malam dan shalat witir berakhir, karenanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalat witirlah kalian sebelum fajar”. (HR. Ahmad 2/149. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Lalu manakah waktu shalat witir yang utama dari waktu-waktu tadi?
Jawabannya, waktu yang utama atau dianjurkan untuk shalat witir adalah sepertiga malam terakhir.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَوْسَطِهِ
وَآخِرِهِ فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ.
“Kadang-kadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
melaksanakan witir di awal malam, pertengahannya dan akhir malam.
Sedangkan kebiasaan akhir beliau adalah beliau mengakhirkan witir hingga
tiba waktu sahur.” (HR. Muslim no. 745)
Disunnahkan –berdasarkan kesepakatan para ulama- shalat witir itu
dijadikan akhir dari shalat lail berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar yang
telah lewat,
اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً
“Jadikanlah akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)
Yang disebutkan di atas adalah keadaan ketika seseorang yakin (kuat)
bangun di akhir malam. Namun jika ia khawatir tidak dapat bangun malam,
maka hendaklah ia mengerjakan shalat witir sebelum tidur. Hal ini
berdasarkan hadits Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّكُمْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُومَ مِنْ آخِرِ
اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ ثُمَّ لْيَرْقُدْ وَمَنْ وَثِقَ بِقِيَامٍ مِنَ
اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ آخِرِهِ فَإِنَّ قِرَاءَةَ آخِرِ اللَّيْلِ
مَحْضُورَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ
“Siapa di antara kalian yang khawatir tidak bisa bangun di akhir
malam, hendaklah ia witir dan baru kemudian tidur. Dan siapa yang yakin
akan terbangun di akhir malam, hendaklah ia witir di akhir malam, karena
bacaan di akhir malam dihadiri (oleh para Malaikat) dan hal itu adalah
lebih utama.” (HR. Muslim no. 755)
Dari Abu Qotadah, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ
لأَبِى بَكْرٍ « مَتَى تُوتِرُ » قَالَ أُوتِرُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ.
وَقَالَ لِعُمَرَ « مَتَى تُوتِرُ ». قَالَ آخِرَ اللَّيْلِ. فَقَالَ
لأَبِى بَكْرٍ « أَخَذَ هَذَا بِالْحَزْمِ ». وَقَالَ لِعُمَرَ « أَخَذَ
هَذَا بِالْقُوَّةِ ».
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Bakar, ”
Kapankah kamu melaksanakan witir?” Abu Bakr menjawab, “Saya melakukan
witir di permulaan malam”. Dan beliau bertanya kepada Umar, “Kapankah
kamu melaksanakan witir?” Umar menjawab, “Saya melakukan witir pada
akhir malam”. Kemudian beliau berkata kepada Abu Bakar, “Orang ini
melakukan dengan penuh hati-hati.” Dan kepada Umar beliau mengatakan,
“Sedangkan orang ini begitu kuat.” (HR. Abu Daud no. 1434 dan Ahmad 3/309. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Jumlah Raka’at dan Cara Pelaksanaan
Witir boleh dilakukan satu, tiga, lima, tujuh atau sembilan raka’at. Berikut rinciannya.
Pertama: witir dengan satu raka’at.
Cara seperti ini dibolehkan oleh mayoritas ulama karena witir dibolehkan dengan satu raka’at. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْوِتْرُ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فَمَنْ
أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِخَمْسٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ
بِثَلاَثٍ فَلْيَفْعَلْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوتِرَ بِوَاحِدَةٍ
فَلْيَفْعَلْ
“Witir adalah sebuah keharusan bagi setiap muslim, barang siapa
yang hendak melakukan witir lima raka’at maka hendaknya ia
melakukankannya dan barang siapa yang hendak melakukan witir tiga
raka’at maka hendaknya ia melakukannya, dan barang siapa yang hendak
melakukan witir satu raka’at maka hendaknya ia melakukannya.” (HR. Abu Daud no. 1422. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Kedua: witir dengan tiga raka’at.
Di sini boleh dapat dilakukan dengan dua cara: [1] tiga raka’at,
sekali salam, [2] mengerjakan dua raka’at terlebih dahulu kemudian
salam, lalu ditambah satu raka’at kemudian salam.
Dalil cara pertama:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
يُصَلِّى فِى الْحُجْرَةِ وَأَنَا فِى الْبَيْتِ فَيَفْصِلُ بَيْنَ
الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ بِتَسْلِيمٍ يُسْمِعُنَاهُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di dalam kamar
ketika saya berada di rumah dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
memisah antara raka’at yang genap dengan yang witir (ganjil) dengan
salam yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam perdengarkan kepada
kami.” (HR. Ahmad 6/83. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dalil cara kedua:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِثَلاَثٍ لاَ يَقْعُدُ إِلاَّ فِى آخِرِهِنَّ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berwitir tiga
raka’at sekaligus, beliau tidak duduk (tasyahud) kecuali pada raka’at
terakhir.” (HR. Al Baihaqi)
Ketiga: witir dengan lima raka’at.
Cara pelaksanaannya adalah dianjurkan mengerjakan lima raka’at
sekaligus dan tasyahud pada raka’at kelima, lalu salam. Dalilnya adalah
hadits dari ‘Aisyah, ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ
بِخَمْسٍ لاَ يَجْلِسُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ فِى آخِرِهَا.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan
shalat malam sebanyak tiga belas raka’at. Lalu beliau berwitir dari
shalat malam tersebut dengan lima raka’at. Dan beliau tidaklah duduk
(tasyahud) ketika witir kecuali pada raka’at terakhir.” (HR. Muslim no. 737)
Keempat: witir dengan tujuh raka’at.
Cara pelaksanaannya adalah dianjurkan mengerjakannya tanpa duduk
tasyahud kecuali pada raka’at keenam. Setelah tasyahud pada raka’at
keenam, tidak langsung salam, namun dilanjutkan dengan berdiri pada
raka’at ketujuh. Kemudian tasyahud pada raka’at ketujuh dan salam.
Dalilnya akan disampaikan pada witir dengan sembilan raka’at.
Kelima: witir dengan sembilan raka’at.
Cara pelaksanaannya adalah dianjurkan mengerjakannya tanpa duduk
tasyahud kecuali pada raka’at kedelapan. Setelah tasyahud pada raka’at
kedelapan, tidak langsung salam, namun dilanjutkan dengan berdiri pada
raka’at kesembilan. Kemudian tasyahud pada raka’at kesembilan dan salam.
Dalil tentang hal ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. ‘Aisyah mengatakan,
كُنَّا نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَطَهُورَهُ فَيَبْعَثُهُ
اللَّهُ مَا شَاءَ أَنْ يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَيَتَسَوَّكُ
وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّى تِسْعَ رَكَعَاتٍ لاَ يَجْلِسُ فِيهَا إِلاَّ فِى
الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يَنْهَضُ
وَلاَ يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّى التَّاسِعَةَ ثُمَّ يَقْعُدُ
فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا
يُسْمِعُنَا ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ وَهُوَ
قَاعِدٌ فَتِلْكَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَا بُنَىَّ فَلَمَّا أَسَنَّ
نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَخَذَ اللَّحْمَ أَوْتَرَ
بِسَبْعٍ وَصَنَعَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ مِثْلَ صَنِيعِهِ الأَوَّلِ
فَتِلْكَ تِسْعٌ يَا بُنَىَّ
“Kami dulu sering mempersiapkan siwaknya dan bersucinya, setelah
itu Allah membangunkannya sekehendaknya untuk bangun malam. Beliau lalu
bersiwak dan berwudhu` dan shalat sembilan rakaat. Beliau tidak duduk
dalam kesembilan rakaat itu selain pada rakaat kedelapan, beliau
menyebut nama Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, kemudian beliau
bangkit dan tidak mengucapkan salam. Setelah itu beliau berdiri dan
shalat untuk rakaat ke sembilannya. Kemudian beliau berdzikir kepada
Allah, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya, lalu beliau mengucapkan salam
dengan nyaring agar kami mendengarnya. Setelah itu beliau shalat dua
rakaat setelah salam sambil duduk, itulah sebelas rakaat wahai anakku.
Ketika Nabiyullah berusia lanjut dan beliau telah merasa kegemukan,
beliau berwitir dengan tujuh rakaat, dan beliau lakukan dalam dua
rakaatnya sebagaimana yang beliau lakukan pada yang pertama, maka itu
berarti sembilan wahai anakku.” (HR. Muslim no. 746)
Qunut Witir
Tanya: Apa hukum membaca do’a qunut setiap malam ketika (shalat sunnah) witir?
Jawab: Tidak masalah mengenai hal ini. Do’a qunut (witir) adalah
sesuatu yang disunnahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun biasa
membaca qunut tersebut. Beliau pun pernah mengajari (cucu beliau) Al
Hasan beberapa kalimat qunut untuk shalat witir. Ini termasuk hal yang
disunnahkan. Jika engkau merutinkan membacanya setiap malamnya, maka itu
tidak mengapa. Begitu pula jika engkau meninggalkannya suatu waktu
sehingga orang-orang tidak menyangkanya wajib, maka itu juga tidak
mengapa. Jika imam meninggalkan membaca do’a qunut suatu waktu dengan
tujuan untuk mengajarkan manusia bahwa hal ini tidak wajib, maka itu
juga tidak mengapa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
mengajarkan do’a qunut pada cucunya Al Hasan, beliau tidak mengatakan
padanya: “Bacalah do’a qunut tersebut pada sebagian waktu saja”.
Sehingga hal ini menunjukkan bahwa membaca qunut witir terus menerus
adalah sesuatu yang dibolehkan. [Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Fatawa Nur ‘alad Darb, 2/1062[2]]
Do’a qunut witir yang dibaca terdapat dalam riwayat berikut.
Al Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajariku beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu
اللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ
وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ
لِى فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِى شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ
يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ
رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
Allahummahdiini fiiman hadait, wa’aafini fiiman ‘afait,
watawallanii fiiman tawallait, wabaarik lii fiima a’thait, waqinii
syarrama qadlait, fainnaka taqdhi walaa yuqdho ‘alaik, wainnahu laa
yadzillu man waalait, tabaarakta rabbana wata’aalait. (Ya
Allah,
berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk,
dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri
keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau
urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku,
lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan,
sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku,
sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau
tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi)” (HR. Abu Daud no. 1425, An
Nasai no. 1745, At Tirmidzi no. 464. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih)
Bagaimana Jika Luput dari Shalat Witir?
Tanya: Apakah shalat witir itu wajib? Apakah kami nanti berdosa jika
suatu hari kami mengerjakan shalat tersebut dan di hari yang lainnya
kami tinggalkan?
Jawab: Hukum shalat witir adalah sunnah muakkad (sangat dianjurkan).
Oleh karenanya sudah sepatutnya setiap muslim menjaga shalat witir ini.
Sedangkan orang yang kadang-kadang saja mengerjakannya (suatu hari
mengerjakannya dan di hari lain meninggalkannya), ia tidak berdosa. Akan
tetapi, orang seperti ini perlu dinasehati agar ia selalu menjaga
shalat witir. Jika suatu saat ia luput mengerjakannya, maka hendaklah ia
menggantinya di siang hari dengan jumlah raka’at yang genap. Karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika luput dari shalat witir, beliau
selalu melakukan seperti itu. Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits
dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, “Jika
beliau ketiduran atau sedang sakit sehingga tidak dapat melakukannya di
malam hari, maka beliau shalat di waktu siangnya sebanyak dua belas
rakaat” (HR. Muslim).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam biasanya melaksanakan shalat malam
sebanyak sebelas raka’at. Beliau salam setiap kali dua raka’at, lalu
beliau berwitir dengan satu raka’at. Jika luput dari shalat malam karena
tidur atau sakit, maka beliau mengganti shalat malam tersebut di siang
harinya dengan mengerjakan dua belas raka’at. Inilah maksud dari ucapan
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tadi. Oleh karena itu, jika seorang mukmin
punya kebiasaan shalat di malam hari sebanyak lima raka’at, lalu ia
ketiduran atau luput dari mengerjakannya, hendaklah ia ganti shalat
tersebut di siang harinya dengan mengerjakan shalat enam raka’at, ia
kerjakan dengan salam setiap dua raka’at. Demikian pula jika seseorang
biasa shalat malam tiga raka’at, maka ia ganti dengan mengerjakan di
siang harinya empat raka’at, ia kerjakan dengan dua kali salam. Begitu
pula jika ia punya kebiasaan shalat malam tujuh raka’at, maka ia ganti
di siang harinya dengan delapan raka’at, ia kerjakan dengan salam setiap
dua raka’at.
Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan para sahabatnya. [Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil
Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, ditandangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
‘Abdillah bin Baz selaku Ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku Wakil
Ketua, Abdullah bin Qu’ud dan Abdullah bin Ghodyan selaku Anggota,
pertanyaan kedua no. 6755, 7/172-173]
Sudah Witir Sebelum Tidur dan Ingin Shalat Malam Di Akhir Malam
Tanya: Apakah sah shalat sunnah yang dikerjakan di seperti malam terakhir, namun sebelum tidur telah shalat witir?
Jawab: Shalat malam itu lebih utama dikerjakan di sepertiga malam terakhir karena sepertiga malam terakhir adalah waktu nuzul ilahi
(Allah turun ke langit dunia). Sebagaimana hal ini terdapat dalam
hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Rabb
kita turun ke langit dunia hingga tersisa sepertiga malam terakhir.
Lantas Allah berfirman (yang artinya): ‘Adakah seorang yang meminta?
Pasti Aku akan memberinya. Adakah seorang yang berdoa? Pasti Aku akan
mengabulkannya. Dan adakah seorang yang memohon ampunan? Pasti Aku akan
mengampuninya’. Hal ini berlangsung hingga tiba waktu fajar.” (HR.
Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah). Hadits ini menunjukkan bahwa
shalat di sepertiga malam terakir adalah sebaik-baiknya amalan. Oleh
karena itu, lebih utama jika shalat malam itu dikerjakan di sepertiga
malam terakhir. Begitu pula untuk shalat witir lebih utama untuk
dijadikan sebagai akhir amalan di malam hari. Inilah yang ditunjukkan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Jadikanlah akhir shalatmu di malam hari adalah shalat witir
” (HR. Bukhari, dari Abdullah bin ‘Umar). Jadi, jika seseorang telah
mengerjakan witir di awal malam, lalu ia bangun di akhir malam, maka
tidak mengapa jika ia mengerjakan shalat sunnah di sepertiga malam
terakhir. Ketika itu ia cukup dengan amalan shalat witir yang dikerjakan
di awal malam karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
mengerjakan dua witir dalam satu malam. [Syaikh Sholih Al Fauzan hafizhohullah, Al Muntaqo min Fatawa Al Fauzan no. 41, 65/19]
Semoga panduan shalat witir ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar